MANTRA
Oleh: Rober Jemali
Dua menit setelah dia berdoa, laki-laki separuh baya menghampirinya.
Gadis bermata coklat itu membisu dengan tatapan penuh tanya.
"Kau bisu"? Tanya laki-laki itu dengan nada pelan, sambil melihat wajah gadis itu.
Tak dijawab. Diam. Tak bersuara. Gadis itu sedang bermantra.
Selepas melontarkan pertanyaan itu, laki-laki itu meninggalkannya sendiri di pojok ruangan.
Wanita yang bernama Seloka itu hanya melihat kepergiannya.
Melambaikan tangan pun tak sempat. Ada apa?
Kepergiannya meninggalkan banyak pertanyaan.
Tiba bagi Seloka berdiri sambil melihat di sekitar, entah mencari laki-laki tersebut atau hanya meregang otot.
Nyatanya, dalam hati Seloka, nama laki-laki itu masih terukir manis.
Kisahnya, mereka berdua hampir 5 tahun menjalin hubungan dalam diam-diam.
Benarlah yang dikatakan para penyair, "Tak perlu bicara, rasa itu akan tetap ada".
Dibalik kaca setengah retak di lorong paling belakang, laki-laki itu ternyata berdiri.
Menatap Seloka dari kejauhan. Merayu lewat bisikan mantra doanya.
"Ya Tuhan, diakah yang kau beri dalam setiap tidur malamKu"? Tanya laki-laki itu dalam hati.
Waktu demi waktu pun berlalu tanpa alasan. Keduanya masih ingin berdiam. Saling mendoakan lewat mantra.
Laki-laki yang sering disapa Reno ini sedih dalam kesendiriannya.
Pagi yang cerah, matahari yang kian bersahabat, ternyata memberikan niat baik bagi Reno.
Diambilnya kertas dan pena, lalu mencoba menulis beberapa larik puisi.
_Seloka, Duhai Gadis di MimpiKu_ Bunyi judul puisi yang dibuat Reno.
Di baris terakhir, kalimat ini dituangkan dengan segenap rasa.
"Jika nanti kita tidak ditakdirkan, Biarkan puisi ini tumbuh didoa malamMu, Seloka".
Sejak puisi itu dibuat, Reno tak lagi melihat Seloka di kota itu.
Entah kemana Seloka pergi. Reno sudah tak lagi melihat lesung pipi, rambut ombak, yang dipancarkan Seloka.
Reno pun kembali ke gedung adorasi itu. Mengintip lewat kaca, seperti biasanya.
Namun, Seloka kini hilang. Entah kemana.
Bersambung. ****
Komentar
Posting Komentar