Elegi Jalan-Jalan yang Pernah Kita Lalui🎋



Perlahan aku merayap ke dinding ruang tamu di sisi kanan. Cahaya matahari tak bisa manjangkauku di sini. Terlalu sering terbilas panasnya akan membuat kulitku cepat keriput. Aku tidak mau mengalami penuaan dini. Aku masih muda, belum kawin, butuh menjaga kecantikan kulit dan wajahku. Cicak-cicak jantan di daerah sini terkenal sangat pemilih.

Dari sisi dinding sebelah kanan ini aku bisa melihat Laura dengan jelas.

Aku tercengang dan bergidik.

Kulihat Laura bersandar lemas di sofa ruang tamu. Lengan bajunya terkoyak. Baju depannya sobek tercabik.

Aku mengembuskan napas dengan tergesa, setan apa yang membuatnya seperti itu. Apakah lelaki itu telah memperkosanya?

Tidak, pakaiannya masih relatif utuh, hanya baju bagian atasnya saja yang rusak.

Laura terus menangis, aku juga.

Gadis manis itu terus menangis, kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Aku sedikit merasa lega. Nampaknya dia sudah sedikit tenang. Sesaat setelah menghela napas panjang, dia meraih gawainya, menjentikkan ujung jarinya dengan gemetar.

Laura menghubungi seseorang ….

Sesaat terdengar nada tunggu panggilan, sesaat yang terasa lama bagiku. Siapa yang dia hubungi? Apakah lelaki itu? Apakah orang tuanya?

“Hai, Mir. Aku butuh kamu, aku lagi … ke sinilah sekarang ….”

Laura menghubungi temannya. Aku ingat, dia punya sahabat dekat bernama Mirna. Beberapa kali Mirna datang ke rumah ini, seingatku dia malah pernah menginap di sini untuk beberapa hari. Syukurlah Laura menghubungi sahabatnya itu. Semoga Mirna segera datang.

“Ada apa, Ra? Kamu baik-baik saja, kan?” Suara Mirna datar, tapi lumayan jelas aku dengar.

“Please, Mir …. buruan.”

“Wah, ada masalah yang serius, ya? Ok, aku lagi di jalan dengan seorang teman. Aku ke rumahmu sekarang. Aku ajak temanku, ya?”

“Iya, buruan, please ….”

Hari beranjak senja, matahari menyisakan sedikit pendaran jingga. Aku merayap lebih tinggi, hampir menyentuh langit-langit ruang tamu. Dari sini aku bisa melihat semuanya dengan lebih jelas.

Barangkali lebih dari satu jam baru terdengar deram suara mobil di halaman. Aku lihat Laura tak bereaksi apa-apa, tapi wajahnya nampak sedikit berbinar.

Langkah-langkah kaki yang memijak selasar rumah terdengar merdu. Nyaris seperti bunyi palu kecil yang beradu dengan papan kayu.

Tok tok tok … tok tok tok …. ketukannya lembut dan teratur. Ah, iya, sama dengan bunyi sepatu jinjit Laura saat beradu dengan lantai granit rumah ini. Tentu saja sahabat Laura ini memakai sepatu dengan model yang sama.

“Masuk saja, Mir. Pintunya nggak dikunci.” Setengah berteriak Laura menyuruh sahabatnya itu masuk.

Pintu dibuka dengan perlahan, Mirna dan temannya masuk ke rumah dengan langkah sedikit tertahan.

Mirna melihat Laura duduk di sofa dengan tatapan penuh tanda tanya? Dia segera tahu keadaan sahabatnya itu.

Perlahan Laura bangkit, berdiri sebentar kemudian ambruk kembali di sofa.

“Alex, Mir …. bajingan dia!”

Mirna cepat tanggap pada keadaan. Dia berjalan cepat dan memeluk tubuh Laura erat-erat. Laura menangis dalam pelukan Mirna dan tak melepasnya untuk beberapa saat. Sambil terisak, dia berbisik pada Mirna ….

“Bajingan itu hampir saja memperkosaku. Dia merasa pertunanganku dengannya adalah lampu hijau untuk berbuat sesuka hatinya.”

Laura dan Mirna duduk berhadapan di sofa. Kedua tangan Laura meremas lengan Mirna, seperti ingin membagi kesedihan hatinya pada sahabatnya itu. Sementara teman Mirna hanya berdiri mematung beberapa langkah dari mereka. Pandangan matanya tajam ke arah Laura, sepertinya dia tidak suka dengan keakraban Mirna dan Laura.

Rasanya aneh sekali, bukankah dia juga telah mendengar malapetaka yang nyaris menimpa Laura? Bukankah sangat wajar jika Mirna bersimpati pada Laura? Ada dengusan pelan keluar dari mulutnya. Aku tidak suka teman Mirna ini. Sepertinya dia wanita yang jahat.

“Boleh aku duduk.”

Tanpa menunggu jawaban dari Laura, teman Mirna ini langsung duduk di sebelah Mirna.

Aku merasa teman Mirna ini aneh sekali. Tidak punya empati dan tidak tahu tata krama. Ya, aku rasa dia memang wanita yang jahat.

Aku berdecak tujuh kali dengan decakan paling kencang yang bisa aku lakukan. Aku ingin memperingatkan Laura agar berhati-hati. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang menakutkan dari teman Mirna ini.

Decakan suaraku membuat Laura melepaskan cengkeraman tangannya pada Mirna. Dia menengadahkan kepala ke atas melihatku. Sesaat kami berpandangan mata. Kembali aku berdecak tujuh kali, sekali ini dengan decakan yang lembut. Laura menatapku, dan dia pun tersenyum.

Aku bersyukur, agaknya dia sudah sedikit tenang. Laura melihat teman Mirna sambil tersenyum.

“Maaf, tadi nggak sempat menyapa. Namaku Laura, teman Mirna adalah temanku juga.” Sapa Laura ramah sambil mengulurkan tangannya pada teman Mirna. Aku suka suara Laura, selalu suka nada suaranya—lembut dan ramah. Bahkan saat kondisi seperti ini, kelembutan suaranya selalu terjaga.

“Namaku Jesika.” Teman Mirna menyebutkan namanya tanpa mengulurkan tangan. Sikap yang canggung, sangat canggung, dan jahat.

(bersambung)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terungkap, Mahasiswi di Ruteng Gantung Diri karena Putus Cinta, Tinggalkan Wasiat dalam Buku Diary

Narasi Gelisah Pembangunan Puskesmas Mok: Gatal di Kaki Garuk di Kepala

KISAH CINTA PAULUS: SOPIR OTO KOL RUTENG-ELAR