Belajar Hingga Akhir Hayat
“Kenanglah Aku Melalui Tulisanku”
(Bedah Buku “Setapak Literasi; Antologi Tulisan Karya Guru SMK Swakarsa Ruteng”)
Ruteng, Jumat, 29 April 2022
Oleh:
Dr. Marianus Mantovanny Tapung,S. Fil., M. Pd.
Meski tanda-tanda Pandemi Covid-19 sudah berlalu, tetapi trauma dampaknya pada pembatasan aktivitas manusia, masih terasa. Peraturan protokol kesehatan yang mengharuskan jaga jarak sosial dan fisik telah banyak berdampak pada rendahnya kreativitas dan produktivitas pada dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dalam dimensi pendidikan. Salah satu dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia pendidikan, yakni terjadinya perubahaan pengarusutamaan konsep pendidikan dan pola pembelajaran, yang biasanya konvensional atau luring (di luar jaringan) menjadi daring (dalam jaringan), atau perpaduan antara keduanya (blended learning). Protokol kesehatan dan perubahan pola ini menjadi tantangan tersendiri, sekaligus peluang bagi para pendidik (guru) agar tetap menjalankan aktivitas kreatif sekaligus produktif. Seperti yang dilakukan Ibu/Bapa guru di SMK Swakarsa ini, ketika kebanyakan orang ‘tak berkutik” saat wabah ini, justru mereka memanfaatkannya untuk mengungkapkan gagasannya tentang pendidikan dan hal-hal lain yang terkait, dalam bentuk buku bunga rampai berjudul: “Setapak Literasi; Antologi Tulisan Karya Guru SMK Swakarsa Ruteng” dengan editor Y.B. Inocenty Loe dan Dyan Jeanita Blegur. Selain bunga rampai ini dapat menjadi menjadi alternatif sumber pengetahuan, berikut informasi bagi para pembaca di masa pandemi ini, tetapi lebih dari itu, dengan memuat gagasannya, para guru kreatif ini dapat mengaktualisasikan kemampuan menulis, yang justru menjadi salah satu kompetensi penting seorang guru profesional, sesuai amanah pasal 10 ayat 1, UU No. 14 tahun 2005 dan Permendiknas No. 16 tahun 2007.
Sementara di sisi lain, gerakan literasi sekolah (GLS), sudah menjadi bagian penting dari implementasi kurikulum merdeka sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Mendikbudristek Nomor 56/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam rangka Pemulihan Pembelajaran. Dalam hal ini, literasi, numerasi dan pembelajaran yan berorientasi pada projek profil pelajar Pancasila merupakan bagian penting dari implementasi Kurikulum Merdeka. Di mana, literasi menulis sebagai bagian penting dari Kurikulum Merdeka, memiliki karakter pelaksanaan pembelajaran sudah berparadigma baru dan berdiferensiasi. Selain mendukung Kurikulum Merdeka dengan dengan paradigma baru dan berdiferensiasi ini, literasi menulis mendukung gagasan pembelajaran abad 21, di mana baik pelajar maupun guru mesti miliki keterampilan personal dalam hal berpikir kritis dan berpikir kreatif, dan berketerampilan sosial seperti mampu berkolaborasi dan berkomunikasi. Saya melihat 35 tulisan ada dalam buku ini sudah cukup menggambarkan, bagaimana guru-guru di SMK Swarkarsa merespon tuntutan esesial dari pembelajaran abad 21 dan kemendesakan substabsial dari implementasi kurikulum merdeka yang berparadigma baru dan berdiferensiasi.
35 tulisan dalam buku ini, sebagian besar sudah terkait dengan konsep dan praktik pembelajaran abad 21 dan pembelajaran berdifiensiasi pada kurikulum merdeka. Dan, buku ini sudah mengambil bagian dari prinsip mandiri dalam IKM (Implementasi Kurikulum Merdeka), yakni mandiri belajar, mandiri berbuah dan mandiri berbagi. Para penulis (dari tulisan Pak Bernadus Nasur, hal. 1, sampai dengan tulisan Ibu Sisilia Lege, hal 184), sudah secara eksplisit maupun implisit, secara sadar atau tidak sadar mengintegrasikan rumusan konseptual mengenai 6 istilah penting dalam kurikulum merdeka, yakni: capaian pembelajaran, model-model Alur Tujuan Pembelajaran, Modul ajar atau RPP Plus, Profil Pelajar Pancasila, Teaching at Right Level, dan kurikulum operasional Satuan Pendidikan. Seandainya, segala bentuk konsep dan praktik baik yang ada dalam tulisan ini dikembangkan, maka saya yakin hal ini memberi arti penting bagi pembudayaan pembelajaran bermakna untuk mengatasi terjadinya ketertinggalan pembelajaran (learning loss) dan kesenjangan pembelajaran (learning gap), yang disebabkan oleh berbagai hal saat ini, termasuk pandemi Covid-19. Bila kegiatan menulis sudah sangat membudaya dalam diri guru-guru SMK Swakarsa dan guru-guru di Manggarai, maka keterampilannya tidak lagi pada level berkembang, layak, dan cakap, tetapi sudah masuk level mahir. Bila masuk pada level mahir, maka hal ini bisa menjadi modal dasar dalam upaya mentransfer pengetahuan dan nilai yang bermakna kepada siswa.
Menurut saya, tulisan-tulisan ini memberi gambaran tentang design thinking for learning yang sangat mahir dari guru-guru. Hal ini penting, mengingat siswa kelas 10 SMA/SMK masuk dalam fase E dan siswa kelas 11-12 SMA/SMK sudah masuk fase F, di mana pada fase-fase ini, siswa sudah dituntut untuk bisa beradaptasi dengan pola/skema Teaching at the right level (TaRL). TaRLA atau mengajar pada level yang benar/tingg, adalah pendekatan pembelajaran yang tidak lagi mengacu pada tingkat kelas, melainkan mengacu pada tingkat kemampuan siswa. Literasi menulis merupakan salah satu pra-syarat sekaligus pra-kondisi untuk bisa memasuki TaRL. Apalagi karateristik vokasional dari pendidikan di SMK, di mana mereka disiapkan untuk terjun ke dunia usaha dan dunia industri, maka literasi, numerasi dan profil pelajar Pancasila memiliki peran penting, agar mereka tidak mengalami hambatan dalam mengaktualisasi dirinya. Siswa SMK butuh inovasi dan kreativitas pembelajaran yang mampu menjawabi tantangan dunia milenial yang cepat berubah dan kerap mengalami lompatan-lompatan yang tak terduga. Inovasi dan kreativitas pembelajaran dalam bentuk pendekatan, metode, model dan pemanfaatan sumber dan media belajar kekinian, seperti easy German, Tik Tok, Take Me out, snowball throwing, , kooperatif Tipe GI, Role Playing, berpikir kritis, memanfaatkan perangkat smartphone, class industri, diskusi, demontrasi, blended learning, orientasi pembentukan/penguatan karakter, dll., merupakan upaya para penulis untuk membuat pembelajaran di kelas menjadi bermakna, kontekstual dan relevan, serta mengatasi fenomena learning loss dan learning gap, pada masa pandemi Covid-19.
Buku “Setapak Literasi; Antologi Tulisan Karya Guru SMK Swakarsa Ruteng” menjadi pemantik baru bagi diskusi yang ke sekian kalinya, terkait kondisi literasi pada negara kita. Pemeringkatan literasi internasional, Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University (2016) menunjukkan, tingkat kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia sangat ketinggalan. Indonesia berada di urutan ke-60 dari total 61 negara. Posisi paling atas diduduki Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, dan Swiss. Sementara Kompas.com (23/11/2011) menulis "Tradisi Menulis Lebih Rendah daripada Minat Baca". Pertanyaannya, mengapa minat dan kesadaran menulis kita rendah? Ada banyak hal yang menyebabkannya. Saya sendiri melihat dua hal. Selain karena infrastruktur dan lingkungan tidak cukup mendukung, juga karena kesadaran sumber daya manusia untuk kegiatan yang satu ini belum mumpuni. Cukup banyak orang kita yang belum menjadikan semangat menulis sebagai bagian inheren dari hidupnya, terlebih untuk kalangan pelajar, mahasiswa, guru dan bahkan dosen. Cukup banyak orang belum tahu betul untuk apa menulis dan mengapa menulis? Nah, untuk sedikit memberi jawaban atas dua pertanyaan ini, saya coba membedah beberapa pokok pikiran terkait dengan tujuan dan manfaat menulis.
Orang akan mengenangkan kita dengan perbuatan-perbuatan baik. Salah satu perbuatan baik yang selalu dikenang sepanjang sejarah manusia adalah dengan menulis. Menulis merupakan aktivitas untuk membuat kenangan. Baik kenangan tentang diri, komunitas, dan dunia. Banyak kenangan di dunia ini yang terbentuk dalam struktur aktivitas menulis. Selain menulis merupakan bagian dari aktivasi paduan antara raga dan jiwa manusia, menulis juga merupakan bagian dari pembentukan serpihan jejak-jejak literasi peradaban kehidupan. Kenangan dunia telah membuktikan bahwa peradaban manusia dari masa ke masa terbentuk dari proses literasi peradaban yang kuat; dan salah satunya dengan menulis. Seperti itulah bacaan yang bisa saya tangkap dari “Sekapur Sirih” Ibu Julie Laiskodat (Bunda Baca dan Bunda Paud Propinsi NTT), “Pengantar “ dari Pak Linus Lusi (Kadis PK Propinsi NTT), “Mendidik Generasi Muda Melalui Sekolah” Pak Bernardus Nasur, SM, dan “Pengelolaan SMK Swakarsa Ruteng dalam Konsep Segitiga Sama Sisi” oleh Pak Isidorus Son, SE.
Menulis menjadi bagian dari proses sosiologis, di mana orang bisa menyatu dengan lingkungan masyarakatnya melalui pikiran dan imajinasi yang tertuang dalam tulisan. Menulis menjadi aktivitas pematangan diri di tengah masyarakat. Ketika menulis, seseorang melepas egonya dan berani melebur dengan ego sosial yang mengarah pada kematangan sosial. Karya dihasilkan bukan lagi miliknya pribadi, tetapi menjadi milik semua orang. Bahkan ada klaim, ketika tulisan seseorang sudah dipublikasi, maka karya itu menjadi hak milik semua kalangan. Semua orang bisa menafsirkan, mengolah dan bahkan memanfaatkan untuk kepentingan dirinya. Pada kondisi ini, penulis harus rela dan tulus untuk menyerahkan hasil karyanya untuk kepentingan umum. Penulis yang baik, selalu berhubungan baik dengan masyarakat pembaca. Sebaliknya, masyarakat merupakan laboratorium yang utama bagi penulis untuk melakukan riset-riset penting sebagai basis dalam menarasikan pikiran-pikiran dalam sebuah karya tulisan.
Kegiatan menulis juga merupakan bagian dari proses psikologis, di mana penulis dan juga pembaca berada dalam ikatan emosional tanpa sekat ruang dan waktu. Penulis dan pembaca seperti berada dalam ruang dan waktu yang sama, bahkan berada pada lintasan perasaan yang sama pula. Menulis bisa merupakan terapis mental dan kejiwaan seorang. Dengan banyak menulis, seorang dimatangkan dari sisi mentalnya. Sebagian besar kegiatan menulis merupakan pergulatan mental psikologis yang alot dan memakan waktu dan energi yang tidak sedikit. Bagaimana menerka, memahami dan mencerna suasana batin pembaca saat bernarasi dalam bentuk tulisan, merupakan hal yang tersulit dalam aktivitas menulis. Dengan demikian, mereka yang memiliki karya dalam bentuk tulisan dan karya-karya lainnya, sangat dimatangkan secara psiko-emosional. Karya-karya mereka sepantasnya dihargai karena pergulatan psiko-emosional yang tidak gampang. Secara psiko-emosional, ketika menulis seseorang bisa mengekspresikan sisi manusiawi dalam dirinya, seperti suka dan duka, harapan dan kecemasan di dalam hidupnya. Menulis berarti menciptakan ruang emosional, tempat di mana seseorang bisa menjadi diri sendiri sekaligus menjadi diri orang lain (pembaca), tanpa halangan dari pihak manapun. Dalam ruang emosi tersebut, seseorang berhadapan dengan luka dan kekecewaan, duka dan kecemasan di dalam hidupnya. Menulis itu seperti menatap langsung segala derita dan kejahatan yang pernah dialami dalam hidup. Menulis memiliki dampak yang menyembuhkan. Dengan menulis, seseorang menerabas jarak dan semua perasaan maupun emosinya. Kondisi inilah yang bisa menyembuhkan penulis, bahkan juga pembaca. Setelah menulis atau membaca, batin pun berubah. Ada perasaan lega yang muncul, ketika seseorang menulis dengan jujur, apa yang menjadi harapan dan kekecewaannya. Ada semacam kesadaran, bahwa perasaan dan pikiran, yang selama ini mendera, menjadi lepas dan perasaan menjadi lebih tenang.
Menulis adalah bagian dari proses historis. Dengan menulis, seseorang sedang mengemban tanggung jawab moral untuk mengambil bagian dalam membangun sejarah peradaban dunia. Sejarah menulis adalah sejara milik para perancang sejarah. Identitas lain (alter ego) penulis adalah perancang sejarah. Karena menjadi bagian dari perancang sejarah, para penulis kerap diagungkan, diangkat martabat dirinya dan berpeluang merasakan kebahagiaan surgawi kelak. Para penulis selalu dikenang dalam sejarah besar bangsa-bangsa. Bahkan ada bangsa yang besar dan terkenal di dunia karena penuh dengan penulis-penulis yang handal dan melegenda sepanjang hayat. Ada juga bangsa-bangsa yang sudah punah (Yunani dan Romawi), tetapi karena memiliki sejarah menulis, maka mereka pun masih dapat dikenang sampai saat ini. Sejarah adalah menulis; dan menulis adalah sebuah sejarah. Sejarah tanpa menulis adalah omong kosong, dan menulis tanpa sejarah tidak akan bermakna apa-apa. Karena itu, kebijakan menghapus pelajaran sejarah dalam kurikulum berarti menafikan literasi tulisan dalam peradaban bangsa. Padahal bangsa ini juga dibesarkan dan dikembangkan oleh sejarah literasi tulisannya. Kalau tidak ada tulisan, siapa yang tahu yang tahu tentang sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, sejarah dunia, sejarah pendidikan, sejarah keluarga, sejarah pemikiran dan peradaban, sejarah budaya Manggarai, dll.
Menulis bahkan merupakan bagian dari proses religius yang sejati. Para penulis adalah para pendoa sejati. Sebagaimana para pendoa harus bersemedi, bersujud dan bersembah kepada Tuhan yang Maha Esa, dengan mencari ruang dan waktu yang khusus dan khyusuk, demikian juga para penulis. Mereka selalu dalam upaya hening untuk mencari inspirasi dan terang ilahi. Dalam hal ini, ruang imajinasi dan meditasi, tentu tidak saja dipahami secara teknis belaka, seperti harus ada waktu dan tempat khusus, tetapi lebih pada bagaimana seorang penulis menempatkan dirinya untuk mendapatkan inspirasi dan animasi di sela-sela kesibukan kesehariaannya, dan akhirnya bisa menghasilkan sebuah karya. Dalam konteks menulis sebagai aktivitas religius, pepatah Latin ini mungkin bisa menjadi pendasarannya; “Qui bene scribat, bis orat” (Siapa yang menulis baik, berarti berdoa dua kali). Menulis adalah kegiatan doa. Doa syukur untuk mempersembahkan anugerah akal budi yang dihibahkan Tuhan kepada manusia sebagai binatang berakal budi (animal rationale).
Menulis adalah bagian dari proses ideologis. Selain merupakan upaya strukturisasi ide-ide liar dalam diri seseorang, kegiatan menulis adalah cara paling efektif untuk menyampaikan ide-ide penulis secara lebih sistematis dan terstruktur. Penulis dan pembaca yang ideologis akan memahami sebuah karya dengan cara yang lebih militan dan fundamental dari masyarakat awam, sebab mereka menyadari betapa sulit mengumpulkan, menyusun, merangkai dan memolakan ide-ide liar menjadi sesuatu yang bisa dimengerti, baik oleh pembaca maupun oleh penulis sendiri. Tujuan utama menulis dan membaca adalah terjadinya kartasis (pelepasan jiwa). Pelepasan jiwa merupakan tujuan yang harus menjadi luaran dari aktivitas membaca dan menulis. Inilah yang menjadi tujuan ideologis dari kegiatan membaca dan menulis. Wattimena (2016) menyebut, dengan menulis, seseorang mendapatkan ruang untuk mengekspresikan pemikirannya. Pemahaman ini akan membawa perubahan mendasar di dalam batin kita. Jika banyak orang yang mengalami perubahan batin, maka perubahan sosial juga akan tercipta secara alamiah. Secara ideologis, dalam konteks perubahan sosial, menulis berarti berani mengungkap kebenaran. Menulis juga berarti berani bersikap kritis menanggapi ketidakadilan sosial yang terjadi. Di dalam politik, menulis bisa menjadi pemicu perubahan besar, seperti revolusi atau reformasi radikal. Menulis juga bisa memicu lahirnya gerakan pencerahan yang menyebarkan inspirasi ke seluruh dunia. Begitu banyak contoh atas hal ini, mulai dari reformasi Gereja, revolusi pengetahuan, revolusi industri, revolusi masyarakat 5.0, dll.
Menulis menjadi tanggung jawab moral sebagai homo sapiens (makhluk bijaksana, makhluk berpikir). Inilah yang menjadi keutamaan moral dari kegiatan menulis. Seseorang yang menulis sedang mengemban tanggung jawab moral sebagai manusia yang ‘diadakan’ dengan kondisi memiliki akal budi dalam dirinya. Dalam mengemban tanggung jawab moral ini, seseorang tentu harus menghasilkan karya terbaiknya, sehingga dapat memberi sesuatu yang bermanfaat bagi pengembangan diri orang lain. Dosa moral sosial yang tidak bisa diampuni (sakralegi) bila seseorang menulis hal-hal yang buruk, berikut berdampak buruk bagi sesama, baik dalam bentuk tulisan literal (buku), maupun tulisan digital di media sosial. Manusia baru memiliki tanggung jawab moral, bila dapat menunjukkan jati dirinya dengan menulis secara baik dan benar. Seorang bisa dikenal baik atau tidak baik, justru dari tulisannya (You are what you write). Standar normatif menjadi penulis adalah mampu menerapkan etika moral dalam menulis, mampu menghindari yang jahat dan melakukan yang baik (bonum faciendum, malum vitandum).
Menulis, sejatinya juga adalah bagian dari proses eksistensial. Penulis yang baik akan menegaskan keberadaan diri dan sesama dengan menghasilkan benih-benih pikiran yang baik pula. Karena mereka telah berbuat berbaik dengan segenap dirinya untuk kepentingan orang lain, maka para penulis kerap dihargai dan dihormati status sosialnya. Sudah cukup banyak orang menyadari bahwa dengan menulis, pikiran akan selalu dikenang, jiwanya tidak pernah mati, meski badannya tidak bernyawa lagi. Menulis adalah bagian dari proses menegaskan keberadaan (eksistensi) di dunia ini. Bila Filsuf Perancis Rene Descartes (1596-1650) mengungkapkan, “Saya berpikir, maka saya ada” (Cogito, ergo sum), untuk menegaskan keberadaan manusia di dunia ini, maka seorang penulis memiliki falsafah sendiri, yakni: “Saya menulis, maka saya ada” (Scribo, ergo sum). Menulis adalah upaya menegaskan keberadaan diri dan mengakui secara elegan keberadaan orang lain. Secara eksistensial, siapa yang tidak pernah menulis, maka seorang bisa dikatakan sudah mati sebelum meninggal. Semua orang tidak tahu kapan dan di mana raganya mati. Namun, ketika kita banyak menulis, meski raga kita mati, yang akan tetap tertinggal adalah kenangan. Kenangan akan gagasan dan kebaikan. Biarlah orang akan mengenang kita dengan gagasan-gagasan kebaikan. Seorang penulis kelahiran Prancis keturunan Catalunya dan Denmark AnaĆÆs Nin (1903-1977) berkata, “Kita menulis untuk merasakan kehidupan dua kali, yakni pertama, pada saat kita dilahirkan, dan yang kedua saat melahirkan ide dalam bentuk tulisan.” Semangat ini selaras dengan perjuangan di dunia politik; di mana kita bisa mati berkali-kali, juga hidup lagi berkali-kali.
Buku “Setapak Literasi; Antologi Tulisan Karya Guru SMK Swakarsa Ruteng” adalah bagian penting dari proses sosiologis, psikologis, historis, religius, ideologis, eksistensial dan tanggung jawab moral. Dengan karya ini, Guru2 SMK Swakarsa telah dan sedang menunjukkan sekaligus menegaskan identitas dan entitas keberadaan dirinya sebagai homo sapiens. Manusia yang berakal budi, yang tidak saja dikenang karena potensi pemikiran, tetapi juga telah mengejawantahkan potensi itu dalam bentuk karya. Karya ini akan dikenang sebagai bagian dari proses hidup anda di muka bumi ini, dan meskipun nantinya kehidupan itu direnggut dari diri kalian. Karya ini akan berharga bagi kepentingan diri dan kepentingan orang lain, terutama geliat literasi di bumi Manggarai. Dengan adanya karya ini, Manggarai, tidak saja menjadi aeropagus peradaban budaya Manggarai, tetapi juga episentrum peradaban literasi. Bila kekuatan budaya dipadukan dengan kekuatan literasi, maka akan muncul aeropagus peradaban baru, yang disebut peradaban litera-kultural, yang menurut saya, gradasi atau tingkatan serta dan harga tawar peradabannya jauh lebih tinggi dari harta benda manapun. Bila literasi kultural ini dikembangkan dengan baik di Mannggarai, maka perkembangan peradaban di NTT akan berpusat di Manggarai. Dengan demikian, hak kesulungan geo-kultur kemanggaraian tidak akan berpindah kemana-kemana, misalnya berpindah ke Manggarai Barat, yang akhir-akhir ini, sangat seksi dengan predikat pariwisata premiumnya.
Selamat dan sukses untuk komunitas Guru-guru Swakarsa. Anda semua telah membuat tapak-tapak sejarah dalam hidupmu. Sebagai akademisi dan praktisi dalan bidang menulis, saya bangga dengan karya intelektual ini. Jadikan karya intelektual ini sebagai tapak dalam membangun kultur dan semangat menulis pada masa yang akan datang, dan memberi motivasi bagi komunitas guru di sekolah lain di Manggarai. Semua karya baik akan dihargai ketika penulis memiliki maksud baik. Jadilah orang baik untuk semua orang dengan menulis, sebab kita adalah kebaikan dan selalu baik; bahkan bisa jadi yang terbaik pada masa mendatang. Dengan menulis, kita akan menjadi guru yang agung dan mulia, yang senantiasa setia dan tekun menulis tentang bagaimana merawat nilai-nilai kehidupan, demi keberlanjutan masa depan kosmos ini; seperti yang dinarasikan oleh ibu Julie dalam sekapur sirihnya: “Membaca dan menulis tidak hanya membuka cakrawala berpikir, tetapi lebih dari itu, memberikan harapan-harapan baru untuk meraih mimpi dan mengukir masa depan.” Saya mengutip refrein dari lagu Naff: Mungkin suatu saat nanti/kau temukan bahagia meski ‘tak bersamaku/bila nanti kau tak kembali/kenanglah aku sepanjang hidupmu, oh/ Mungkin suatu saat nanti/Kau temukan bahagia meski ‘tak bersamaku/Bila nanti kau ‘tak kembali/Kenanglah aku sepanjang hidupmu. Selamat kepada guru-guru SMK Swakarsa. Great job!
Komentar
Posting Komentar